Jadi, hari ini salma lagi mau ngerjain laporan fisika dan iseng buka buka file lama dan nemuin dokumen tugas cerpen tahun lalu. Waktu kelas 10, pak zolvi pernah ngasih tugas buat cerpen, dan ini dia cerpen yang salma buat sendiri.
judulnya............
Sepuluh
Namaku
Calya Sadiya. Aku terbiasa dipanggil Cal. Aku lahir pada tanggal 10 September
1996, lengkapnya aku lahir pada jam 10:10 WIB, dengan berat 1000 gr. Aku sangat
akrab dengan angka sepuluh. Angka sepuluh dalam skala 1-10 merupakan angka yang
dianggap sempurna, tanpa cacat, dan bernilai tinggi.
Karena itu, Ayah dan Bunda memberikan namaku, Calya Sadiya. Calya yang dari
bahasa Sansekerta yang berarti tanpa cacat, dan Sadiya berasal dari bahasa Arab
yang berarti beruntung.
Kata orang, nama itu adalah doa, harapan dari orangtua kepada anaknya
agar menjadi seperti apa yang diinginkan. Namun, pernyataan itu tidak berlaku
untukku. Aku merasa iri pada teman-temanku yang namanya sesuai dengan nasibnya.
Misalnya saja temanku, Asadel, dalam Bahasa Arab Asadel berarti kaya raya, dan
terbukti Asadel berasal dari keluarga yang kaya raya atau temanku yang lain, Shahia, dalam bahasa Afganistan artinya mata yang
indah, dan aku mengakui bahwa Shahia memang mempunyai mata yang indah. Ayah Shahia berasal dari Afganistan. Asadel
dan Shahia adalah teman-teman yang setia menemani di setiap hariku.
Tuli Sensorineural telah membuatku merasa rancu
dengan namaku sendiri. Ya. Aku memang mempunyai gangguan pendengaran. Itulah
yang aku pikirkan setiap harinya di kamar ataupun kamar mandi.
“Cal….”
Terdengar suara panggilan Bunda dari lantai bawah. Karena tidak terlalu
terdengar aku membetulkan alat bantuan pendengaranku. “Calya…………” panggil Bunda
lebih keras lagi. Ternyata benar itu suara Bunda, “Iya Bun, sebentar Cal sedang
di kamar mandi” segera aku menjawab,
agar Bunda tahu aku ada di kamar mandi yang ada di kamarku.Setelah aku selesai
menutup pintu kamar mandi, aku menghampiri Bunda yang sedang duduk di tempat
tidur.
“Ada apa
bun?” tanyaku kepada Bunda. “Hari ini Kak Fawwaz tidak bisa mengajar les kamu
dulu, karena dia ingin mengurus pernikahannya, jadi jadwal les kamu diganti
dengan hari lain” . Aku kembali
membetulkan alat bantuan pendengaran yang sudah mulai rusak dan tidak jelas.
“Alat bantuan pendengaran kamu kenapa?’ tanya bunda yang ikutan risih melihatku
terus membeulkan alat bantuan pendengaran. “Ini Bun, sepertinya alat bantuan
pendengarannya sudah rusak, jadi setiap orang berbicara ada bunyi berdecit”.
Aku melepaskan alat bantuan itu dan memberikannnya kepada Bunda. Bunda melihat
dan memperhatikan jika ada kerusakan pada alat bantuan pendengaranku. Bunda
mengatakan sesuatu namun aku tidak tahu beliau mengatakan apa, setelah itu
memberikannya kembali padaku. “Ya sudah nanti kita betulkan ya, sekarang kamu
tidur saja, istirahat, besok kan sekolah” ujar bunda. Aku hanya mengangguk.
Setelah
Bunda keluar dari kamar, aku membuka jendela kamarku untuk melihat bintang
karena aku belum merasa mengantuk. Malam ini, bintang yang ada di langit
sangatlah terang dan banyak sekali. Aku jadi teringat Asadel, dulu waktu kecil,
Asadel sering main ke rumah ku, bahkan menginap. Saat malam tiba aku dan Asadel
suka melihat bintang, setelah itu kita akan menghitungnya bersama.
“Kalau menurutku, bintang itu bukan benda langit,
bintang itu mata orang yang sudah meninggal, jadi kalau kamu ingin berbicara
lagi dengan nenek mu, ngomong saja
sama bintang, pasti dia dengerin semua
curhatan kamu” itu yang selalu Asadel katakan padaku.
Tak terasa sudah pukul 22.00 WIB. Suara mobil
terdengar melalui alat bantuan pendengaranku. Pasti Ayah. Ayah selalu pulang
larut malam. Ayah adalah seorang Insinyur di sebuah Perusahaan Telekomunikasi
Asing di Jakarta. Tak lama, terdengar suara orang berteriak-teriak. Rasanya seperti suara ayah dan ibu, pikirku. Karena penasaran aku mencoba menempelkan
telingaku di pintu kamar. Terdengar suara Ayah dan Bunda sedang bertengkar di
seberang sana.
“Aku capek ngurus anak itu terus! Sudah berapa uang yang kita habiskan untuk menghidupi anak itu, dari
lahir saja sudah menguras uang keluarga”
“Ayah jangan seperti itu!, Cal kan
anak kita, kita punya tanggung jawab atas dia. Lagipula Bunda cuma ingin
meminta uang untuk membetulkan alat bantuan pendengarannya”
Aku berjalan dengan lesu ke tempat
tidur, melepaskan alat bantuan pendengaranku dan aku berharap semoga saja yang
aku dengar tadi hanya sekedar mimpi dan ada
seseorang yang membangunkanku dari mimpi yang buruk itu.
***
Esok harinya, aku bangun kesiangan karena aku lupa memasang alat bantuan
pendengaranku. Akhirnya Bunda yang
membangunkanku. Untung saja sampai di Sekolah tidak terlambat. Pagi ini Asadel
sudah duduk ditempat duduknya.
“Hai Cal tumben sekali aku datangnya lebih pagi daripada
kamu, biasanya kamu yang datang duluan” ujarnya. “Aku… .tadi terjebak macet
hehe” ucapku dengan terbata-bata. Jantungku mulai berdansa dengan semaunya.
“Ah, bilang saja kamu bangun telat, pakai alasan macet lagi” lalu dia tersenyum
dan melanjutkan menyalin pekerjaan temannya.
Pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Inggris. Aku segera
membuka buku catatanku karena Pak Kartono sudah datang. Seperti biasa, aku
menulis tanggal di ujung kanan atas buku tulisku. 8 September. “Sebentar lagi” ujarku dalam hati
***
“Nah setelah itu kamu
balik saja jawabannya, karena cotan itu kebalikan dari tan kan?”
“Kak
Fawwaz, aku boleh nanya nggak?
“Wah,
tentu saja boleh, kamu mau nanya apa?
“Kalau
hari ini kakak ulangtahun, kakak paling suka diberi hadiah apa?”
“Hahahahahahah”
Kak Fawwaz hanya tertawa mendengar pertanyaanku
“Ah
Kak Fawwaz kok tertawa sih? Cal kan serius”
“Aduh
maaf Cal, Kakak kan cuma tertawa habis pertanyaan kamu itu lucu sih. Kalau ada
yang ingat ulang tahun ku saja aku sudah senang. Memangnya kenapa sih? Pacar
kamu ulang tahun ya?” ujar Kak Fawwaz
sambil menggodaku.
“Bukan
itu maksudku kak, seandainya orang tua kakak hari ini ulang tahun kakak ingin
memberikan apa?”
“Mungkin kakak akan
memberikan kemeja untuknya” jawab Kak Fawwaz dengan cepat.
***
Malamnya
aku memikirkan hadiah ulang tahun untuk Ayah, karena aku setuju dengan saran
Kak Fawwaz untuk memberikan Ayah sebuah kemeja baru. Namun pertanyaan yang
sekarang muncul adalah, Bagaimana caranya aku mendapatkan uang untuk memberikan
kado untuk Ayah dengan uangku sendiri. Aku tidak mau meminta uang kepada Bunda.
Aku takut merepotkannya.
Aku langsung teringat celengan kura-kura
yang pernah diberikan Shahiah waktu ulang tahunku yang ke 14. Aku mengambilnya
dilemari pajangan. Memperkirakan berapa uang yang ada di dalam dengan mengukur
beratnya. Celengan itu tidak terlalu besar, ukurannya sedang. Celengan ini
selalu aku isi setiap hari. Biasanya dari sisa uang jajan yang diberikan Bunda
kepadaku. Celengan itu mempunyai lubang dibagian bawah. Jadi, aku tidak perlu
memecahkan celengan ini, hanya dengan membuka tutup lubangnya lalu mengambil
uang didalamnya.
Aku
mulai mengeluarkan satu persatu uang yang ada di dalam celengan. Mulai dari
uang logam, kertas yang bermacam-macam. Recehan, ribuan, puluhan ribu, sampai
ratusan ribu mulai dikumpulkan. Aku tidak meyangka mempunyai uang sebanyak ini.
Ternyata yang aku dapat yaitu Rp 374.500,00.
“Alhamdulillah, dapat
segini. Sepulang sekolah aku akan membeli kemeja untuk Ayah” Aku berdoa semoga
besok semuanya terjadi dengan lancar.
***
Pagi
ini, aku belum melihat Asadel di tempat duduknya seperti pagi kemarin. Mataku
mencari kemana si rambut keriting itu. Biasanya dia sudah datang. Aku melihat
jam ku. 07:00 WIB. Kalau tidak berkumpul dengan teman satu gengnya dia akan
sibuk menyalin pekerjaan rumahku atau yang lainnya, namun hari ini, tak
sedikitpun dia menunjukan batang hidungnya.
Pelajaran
pertama sudah berakhir, namun Asadel belum juga datang. Beribu pertanyaan
dihatiku. Mengapa dia tidak masuk? Apa
dia sakit? Lalu sakit apa dia?. Pertanyaan terakhir yang muncul dibenakku. Mengapa aku peduli padanya?.
Pelajaran
kedua adalah Sejarah. Aku semakin tidak fokus dengan pelajaran karena
memikirkan Asadel. Aku semakin tidak bersemangat hari ini. Padahal, aku ingin
bertanya dan meminta saran padanya untuk merangkai kata untuk kartu ucapan yang
nantinya akan aku berikan kepada Ayah. Alat bantuan pendengaranku berdecit
lagi. Aku berharap Bunda cepat membetulkannya karena aku tidak tahan dengan
bunyinya.
Saat
Pak Wowo menjelaskan bagaimana manusia hidup di zaman Paleolithikum, seorang
membuka pintu kelas dengan keras. Dengan langkah yang terkesan cuek ia
mendatangi Pak Wowo. Rambutnya yang keriting, bajunya yang berantakan, matanya
yang hitam membuat mataku tertuju padanya. “Maaf pak, saya telat” ujarnya
dengan setengah malas. “Iya saya sudah tahu, ya sudah sana duduk” perintah Pak
Wowo. Dia menuju bangku kosong yang ada di sebelahku, tersenyum ke arahku, dan
aku pun membalas senyumannya itu. “Akhirnya datang juga” ujarku dalam hati.
Pulang
sekolah, sesuai rencana aku pergi ke pusat perbelanjaan yang ada di dekat
rumah. Aku akan membelikan Ayah kemeja, aku ingin Ayah tahu aku bukanlah anak
yang hanya bisa merepotkan beliau, aku ingin membuktikan bahwa aku bisa membuat
dia bahagia. Aku ingin membuktikan bahwa aku sangat sayang padanya.
Untung saja aku membawa baju ganti, kalau
tidak, aku bisa dilarang masuk ke pusat perbelanjaan karena masih menggunakan
seragam. Aku setengah berlari menuju tempat dimana Ayah suka membeli kemeja.
Aku tidak peduli dengan keadaan sekitarku. Aku sangat tidak sabar untuk membeli
kemeja itu. Aku berlari dan berlari.
BRUK.
Aku menabrak seorang laki-laki. Badannya tinggi, besar, memakai kacamata,
kepalanya botak.Aku jatuh. ”Aduh maaf ya mas maaf” dengan perasaan takut aku
mengatakannya. Tabrakan itu membuat alat pendengaranku jatuh. Pria itu juga
setengah berjongkok. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku terus mencari
alat bantuan pendengaranku.
“Nah
itu dia” aku menemukannya tidak jauh dari tanganku. Saat aku ingin mengambil,
seorang anak kecil berlarian dan menginjaknya. KREK. Aku menangis. Aku takut
alat pendengaranku itu sudah benar-benar rusak dan Bunda belum membelikan
penggantinya. Namun, untung saja alat bantuan pendengaranku itu masih bisa
dipakai namun suara yang ditangkap sangat kecil sekali.
Aku
bangun, dan langsung menuju tempat dimana ayah suka membeli kemeja. Sesampainya
disana, aku mulai memilih kemeja yang akan kubelikan untuk Ayah. Cukup lama aku
memilih kemeja yang akan dibeli. Sampai Pramuniaga disana memandangku dengan
sinis karena terlalu lama memilih. Akhirnya pilihanku jatuh kepada kemeja kotak berwarna hitam dan abu-abu berlengan
pendek. Aku yakin Ayah akan suka kemeja ini.
Aku
segera menuju kasir untuk membayar. “Hanya ini saja dik?” tanya Pramuniaga. Aku
tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya karena alat pendengaranku semakin
parah. “Harganya Rp 130.000,00” ujar Pramuniaga. Aku melihat jumlah nominal
yang tercantum dalam mesin itu. Namun, saat aku ingin membayarnya ternyata
dompetku tidak ada. Padahal aku yakin aku sudah membawanya. Aku mencoba
mengeluarkan isi tas. Namun ternyata hasilnya nol.
Dengan
wajah takut aku berkata, “Maaf mbak,sepertinya
dompet saya tertinggal”. Aku segera meninggalkan toko itu. Aku malu. “Kalau
tidak punya uang tidak usah sok ingin beli” kata Pramuniaga dengan setengah
teriak setelah aku keluar dari toko.
Akhirnya
dengan wajah lemas, langkah gontai,aku keluar dari pusat perbelanjaan itu dan
menuju jalan pulang. Dari jauh, pandangan ku tiba-tiba menangkap bayangan
seseorang yang aku kenal. Dia keluar dari sebuah toko kado. Aku mencoba
memanggilnya dan berharap tidak salah, “Asadel”. Namun, orang itu malah
berlari. Aku sedikit ragu bahwa itu Asadel.
Untung
saja sampai di rumah Ayah dan Bunda belum pulang. Aku langsung masuk ke
kamarku. Mencoba merenungkan apa yang terjadi di pusat perbelanjaan tadi. Aku
teringat peristiwa tabrakan dengan seorang laki-laki. “Apa jangan-jangan dia
yang mengambil uangku?” aku memikirkan dalam hati. Namun, aku mencoba menghapus
dugaan itu, karena aku tidak mau menuduh sembarangan.
Aku
menatap alat bantuan pendengaranku yang kondisinya semakin memburuk. Aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan. Meskipun alat bantuan pendengaran ini masih
bisa dipakai tapi dilihat dari kondisinya sudah harus diganti.
Aku
melihat kalender yang ada di meja belajarku. “Tanggal 10 September itu besok
dan aku belum tahu apa yang harus aku berikan untuk Ayah” aku memaki diriku
sendiri.
“KRINGGGGG”
telepon rumah berbunyi. Segera aku memakai alat bantuan pendengaranku.
“KRINGGGGG”
telepon rumah berbunyi lagi.
“Halo”
ujarku
“Halo,
Calya?”
“Ah….Shahiah”
segera aku menceritakan yang terjadi hari ini padanya.
***

“Cal….ini
aku ada hadiah untukmu, aku harap kamu suka ya” ucap Shahiah dengan lembut.
Shahiah memberiku kado yang berbungkus warna merah muda. Aku sangat suka warna
merah muda.
“Makasih ya Shah, aku senang sekali kamu peduli kepadaku” segera aku membuka kado darinya. Tahun lalu dia memberikan boneka. Dua tahun yang lalu dia memberikan celengan kura-kura. “Wah……bagus, sekali lagi makasih ya Shah” . Tahun ini dia memberikanku sebuah lampu kecil yang bentuknya bunga.
“Makasih ya Shah, aku senang sekali kamu peduli kepadaku” segera aku membuka kado darinya. Tahun lalu dia memberikan boneka. Dua tahun yang lalu dia memberikan celengan kura-kura. “Wah……bagus, sekali lagi makasih ya Shah” . Tahun ini dia memberikanku sebuah lampu kecil yang bentuknya bunga.

Saat aku pulang ke rumah, Ayah dan Bunda belum datang.
Bunda janji akan pulang cepat karna ingin memasak makanan spesial untukku dan
Ayah. Akhirnya aku menunggu Bunda pulang dengan memikirkan kado untuk Ayah.
Aku duduk di kursi belajarku,. Aku memikirkan kado apa
yang pantas untuk diberikan kepada Ayah. “Apa aku berikan Ayah puisi saja? Tapi
aku tidak bisa menulis puisi” pikirku. Seorang Tuli Sensorineural mengalami
gangguan wicara. Orang seperti ku biasanya mengalami gangguan dalam merangkai
kata, berbicara, menulis dsb. Namun, karena kegigihan Ayah dan Bunda ku aku
dapat mengejar ketinggalanku. Namun, aku memang tidak bisa menulis puisi dengan
baik. Aku mendapatkan ide. Aku mengambil secarik kertas kosong dan memasukannya
ke sebuah amplop lalu di bagian depan amplop itu aku tuliskan. Untuk Ayahanda
tercinta
Aku teringat kado dari Shahiah. Aku ingin memajangnya didekat
tempat tidurku. Namun, aku kaget saat melihat sebuah kado yang ada di dalam
tasku. Kado itu berwarna merah jambu, ukurannya sedang. Aku mengeluarkan kado
itu dari tasku. Aku berpikir, “Siapa yang memasukan kado ini ya?”. Karena
penasaran akhirnya aku membuka kado itu.
Bunyi suara deru mobil Ayah. Aku bingung, biasanya Bunda
pulang lebih awal. Aku setengah berlari menuju lantai bawah. Ternyata Ayah
datang bersama Bunda. Aku tidak sempat
membuka kado misterius itu.
“Ayah, Bunda” aku memeluk mereka dengan erat
“Selamat ulang tahun ya Calya” ucap Bunda padaku.
“Terimakasih Bunda”
“Ayo, Bunda ingin memasak makanan yang spesial untuk
kalian” ujar Bunda

“Ini
untuk ayah” dengan gemetaran aku memberikan amplop itu kepada Ayah. Ayah
tersenyum dan langsung membukanya. Dengan wajah bingung dan membolak-balikan
kertas yang barusan dibuka Ayah berkata, “Loh, Calya, kok kertas ini kosong?”.
Aku menjawab, “Itu kado cinta Calya untuk Ayah, cinta Calya untuk Ayah tidak
dapat dirangkai dengan kata, karena pasti tidak akan cukup”. Aku langsung
merasakan pelukan hangat dari Ayah dan Bunda.

Hari ini aku merasa sangat senang. Aku langsung terbaring
di tempat tidurku, namun aku teringat kado misterius itu. Segera aku mengambilnya
namun dengan sangat hati-hati aku membukanya. Takut-takut itu adalah jebakan.
Ternyata itu bukan jebakan, kado itu adalah boneka daruma. Boneka khas dari
Jepang.
Aku penasaran siapa pengirimnya. Aku menemukan sebuah
surat dan aku pun mulai membacanya.
Selamat
tanggal 10 Calya! Aku tahu kamu tidak suka dengan angka 10, aku tahu seberapa
bingung nya kamu dengan namamu, aku tahu bagaimana kamu menjalani hidupmu
sampai saat ini. aku….tahu….semua tentang kamu.
Katamu,
10 itu menyebalkan, egois, aneh, dsb. Namun, coba aku jeaskan dengan caraku.
Bagiku 10 itu…………… 1 dan 0. Kamu tahu artinya apa?Artinya, 1 itu mewakili
keberadaan dan 0 mewakili ketidakadaan. Maka jika 1 dan 0 bergabung menjadi
angka 10, aku rasa mereka akan menjadi angka yang paling bahagia karena mereka
saling mengisi, saling memahami, saling mengerti antara keberadaan dan
ketidakadaan satu sama lainnya. Nah, kalo gitu jangan benci dengan angka 10 ya?
dan kalo menurutku, namamu merupakan nama yang paling indah, tanpa cacat dan
beruntung.
Jadi,
Calya Sadiya maukah kamu menjadi angka 1 dan aku menjadi angka 0 agar kita
dapat menjadi yang paling bahagia?
Asadel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar